Babad Dermayu - Cerita Daerah Indramayu Bagian 1
KERAJAAN MANUKRAWA
Pada abad ke-4.M, di tepi sungai Cimanuk telah berdiri sebuah kerajaan lokal yang bernama Kerajaan Manukrawa. Permaisuri dari Raja Indraprahasta ke-3 Prabu Wiryabanyu (421.M - 444.M) yang bernama Nyi Mas Ratu Nilam Sari, berasal dari Kerajaan Manukrawa. Tetapi dalam sepuluh abad berikutnya tidak ada berita perihal kerajaan ini. Diduga telah terjadi musibah besar, kerajaan diterpa banjir bandang sungai Cimanuk, yang kadang-kadang terjadi dan masih terjadi sampai abad ke-19.M (yang terakhir adalah 1850.M)
Pada abad ke-14.M baru terdengar adanya tempat pemukiman kecil penduduk, jauh di sebelah timur sungai cimanuk, yaitu di desa bungko yang pada 1471.M dikunjungi Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dalam dakwah Agama Islam. Kecuali tempat tersebut, kawasan muara sungai cimanuk sampai abad ke-15.M kembali menjadi hutan belantara.
PADEPOKAN GUNUNG SUMBING
Pada 1500.M, Aria Wiralodra berusia sekitar 17 tahun. Dia adalah Putra Adipati Bagelen Dalem Singalodra. Keluarga Sang Adipati yang beragama Islam, memihak Demak sejak memisahkan diri dari Majapahit. Sebagai putra Adipati, pada usia tersebut dia wajib melaksanakan pendidikan kesatria seperti ilmu ketatanegaraan dan keprajuritan, termasuk ilmu kanuragan untuk bela diri dan bela negara. Sedangkan ilmu Agama Islam dilaksanakan lebih awal yaitu pada usia tujuh tahun. Kesemuanya itu telah dilaksanakan.
Kemudian untuk meningkatkan kemampuan diri, baik lahiriah maupun batiniyah, Aria Wiralodra memilih Padepokan Gunung Sumbing untuk berkhalwat kepada sang kholik. Di padepokan ini dimakamkan leluhurnya, yaitu para pendiri Bagelen Nagari, Ki Betara. oleh karena itu dinamakan pula Padepokan Ki Betara.
SERAT BABAD DERMAYU
Macapat Pupuh Sinom: "anang sainggiling malaya tempat ingkang sanget werit gumuling ana ing kisma anenuwun ing yang widi sare’at tarekat mangkin hakekat ma’ripat waa tan sanes ingkang tumingal amandeng ing wujud tunggal jaba-jero supaya dadi satunggal tinggal sareh miwah dahar tigang taun lami neki kantun gagra lan usika sampun ical wujud neki medal cahya ingkang bening tanda tinarimang agung kang den suwun ing yang sukma mugia antuk ridho gusti saturune mugia antuk raharja"
Kini sang pertapa telah mendapatkan kekuatan yang tinggi, apa yang disebut sebagai mumpuni, yaitu memiliki kemampuan batin dan kesaktian. ketika Aria Wiralodra mohon diri kepada sang wiku padepokan untuk kembali ke Bagelen, dia mendapat tiga buah senjata Pusaka Gunung Sumbing, berupa sebuah cakra yang bernama Cakra Udaksana Kiai Tambu, dan dua buah keris yang bernama Gagak Handaka dan Gagak Pernala. Pusaka-pusaka tersebut buatan Empu Warih (Anak Empu Bondan), dibuat masa Kerajaan Kediri abad ke-12.M
Setelah mendapat tiga pusaka utama yang merupakan idaman para pertapa Gunung Sumbing yang tidak diduga bisa dimilikinya, Aria Wiralodra sujud syukur kepada Yang Maha Esa dan menyampaikan terima kasih berulang-ulang kepada Sang Wiku Padepokan. Kemudian mohon diri dan Aria Wiralodra kembali ke Kadipaten Bagelen.
TUGAS KESULTANAN DEMAK
Setelah tiba di Dalem Agung Bagelen, Aria Wiralodra sungkem pada ayahanda Adipati. Sang ayah memandanginya dari kepala sampai ke kaki, kemudian katanya: “Wira, kulihat engkau sangat kurus, tetapi bercahaya, apa engkau telah mendapat petunjuk-Nya?” Sambil mengangguk Aria Wiralodra menjawab:
“Berkat restu Rama, Insya Allah sekarang siap untuk mengabdi kepada Agama dan Negara.” Ayahnya tersenyum dan berkata “Wira, sejak setahun yang lalu semua pemuda, putra-putra adipati, tumenggung dan demang yang telah selesai melakukan pendidikan kesatriaan, dipanggil oleh Sultan Demak dan diberi tugas. Sementara mengenai engkau, telah kulaporkan bahwa kau sedang berada di padepokan Ki Betara Gunung Sumbing. Beliau sangat mengerti dan berpesan kepadaku agar engkau menghadapnya segera setelah kembali. Akan tetapi sekarang pulihkan dulu badanmu.”
Belum genap satu bulan berada di rumah ayahnya, Aria Wiralodra meminta izin untuk menghadap Sultan Demak Raden Fatah.
Tanpa mendapat kesulitan, Aria Wiralodra diterima Sultan di ruang khusus. Berkata Raden Fatah: “Wira, mendekatlah, aku ingin menanyakan beberapa hal yang engkau ketahui dan yang engkau pikirkan. Singkat saja. Pertama, apa pendapatmu tentang Kerajaan Majapahit.”
Setelah menggeser maju duduknya, Aria Wiralodra menjawab: “Gusti, karena kelemahan pemerintahan raja-raja setelah Prabu Hayam Wuruk, maka Majapahit sebagai kerajaan Nusantara, akan segera runtuh.
Bahkan saat ini (abad 15.M) Selat Malaka sebagai pintu perniagaan mancanegara sudah tidak dikuasainya dan Bangsa Portugis telah membuat benteng di Malaka.”
Sultan berkata: “Aku telah menyuruh Yunus anakku untuk persiapan menyerang benteng tersebut, kemudian yang kedua, bagaimana dengan Pajajaran?”
Wiralodra menjawab: “Sama saja Gusti, muara Cipamali yang digunakan sebagai pelabuhan paling timur di Brebes telah ditinggalkan dan kini tinggal muara besar Cimanuk yang masih dikuasainya.”
Sultan memotong pembicaraan “Aku menyuruhmu kemari untuk maksud itu, untuk tugas Agama dan Kesultanan Demak. Aku memberimu tugas untuk menguasai muara besar Cimanuk yang akan kita jadikan Pelabuhan dagang, yang saat ini masih di bawah kekuasaan Pajajaran.
Caranya terserah kamu saja, karena dikemudian hari pada saatnya Armada Laut Demak menyerang
Pajajaran, muara besar Cimanuk akan menjadi sangat penting. Aku memberi tugas ini tidak disertai prajurit, melainkan engkau sendiri disana. apa kau mengerti?”
“Gusti, dengan segala kemampuan hamba, tugas akan hamba laksanakan. Hamba mohon do’a restu!” jawab Wiralodra.
Sultan berkata, “Ingat! Tidak boleh ada yang tahu mengenai tugasmu, kecuali tentu saja aku akan memberi tahu Sultan Caruban Syarif Hidayatullah.”
Keberangkatan Aria Wiralodra dari Bagelen untuk mencari muara besar sungai Cimanuk disertai seorang pengiring yang bernama Ki Tinggil, dan digambarkan dalam serat Babad Dermayu berbentuk Macapat Pupuh Kinanti sebagai berikut: "kaidinan sampun kondur saking ibu rama neki sami medal toga waspa andres mijil den tangisi kalayan kang pandakawan kiai tinggil wasta neki medal ngidul pinggir gunung malebet dateng wanadri lali tur miwah dahar apan dereng antuk warti cimanuk kang den pilala ning pundi panggenan kali."
Lebih dari setahun Aria Wiralodra dan Ki Tinggil merambah hutan belukar, maka pada suatu hari sampailah di tepi sungai yang sangat lebar. Airya deras bergelombang, mengalir ke arah utara.Sambil duduk di batu memandang arus air,Wiralodra berbincang dengan Ki Tinggil.“Paman! Aku sangsi apakah ini sungai Cimanuk atau bukan, tetapi aku menduga tanah di sini bekas kebun atau masih menjadi milik orang.Lihat ada banyak pohon dukuh dan manggis.”
“Raden benar, semoga kita bertemu dengan pemiliknya atau siapa saja yang bisa ditanya.”Belum habis Ki Tinggil bicara, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara orang bersenandung Pupuh Kinanti.:
Punika Kali Citarum Karawang bagian neki Sampun kalintang pan tebah Kedah wangsul malih kaki Amesisir lampah dika Ngeler ngetan lampah neki..
Aria Wiralodra tidak dapat menangkap kata-kata tembangnya, tetapi gembira karena akan bertemu seseorang. Maka cepat-cepat dia berdiri sambil menepuk Ki Tinggil, katanya:
“Paman! Suara itu datang dari arah sana,”
dengan diikuti oleh mata Ki Tinggil ditunjuknya sisi hutan yang agak ke pinggir sungai. Dugaan Aria Wiralodra tidak meleset, karena tepat dari balik semak-semak yang baru ditunjuknya itu, tiba-tiba muncul seorang tua yang langsung mendatanginya. Maka tanpa pikir panjang Aria Wiralodra bergegas menyambut.
Disalaminya orang tua itu sambil berkata :“Sampurasun wahai Kakek, tolonglah kami !”
Orang tua itu tersenyum dan dengan isyarat tangannya Aria Wiralodra dipersilakan duduk di bebatuan yang agak lebar. Setelah menyalami Ki Tinggil, diapun duduk di sisi Aria
Wiralodra.Dengan tidak sabar, kembali Aria Wiralodra berkata:
“Kakek, kami pengembara dari Bagelen Nagari, telah lebih setahun menjelajahi hutan belantara mencari Sungai Cimanuk. Akhirnya kami sampai di sini bertemu dengan kakek, manusia pertama yang kami jumpai selama perjalanan. Dapatkah Kakek memberitahukan apakah sungai ini yang bernama Cimanuk?”
Perjalanan Yang Panjang Kembali sang kakek tersenyum, setelah berdehem baru menyahut. “Cucuku! Engkau bertanya padaku tentang sungai ini? Inilah sungai Citarum, termasuk wilayah Karawang.Sungai Cimanuk yang engkau cari, telah jauh terlampaui. Engkau berdua harus kembali ke timur dan ambilah jalan pesisir utara!”Selesai ucapan katanya yang terakhir Sang kakek menghilang Aria Wiralodra tertegun,
katanya: “Paman, aku menyesal belum sempat tanya nama dan asalnya.”Ki Tinggil menyahut gugup: ‘ Telah paman duga sejak kehadirannya, tetapi apapun yang terjadi kita beruntung mendapat warta. Oleh karena
itu Raden, sebaiknya kita segera berangkat!”
Aria Wiralodra mengiyakan, maka berangkatlah mereka kembali ke timur arah utara, merambah hutan belukar, Dua bulan
telah berlalu, kemudian ketika kelelahan sampai pada puncaknya, secara kebetulan
mereka menjumpai sumber air. Maka berkata Aria Wiralodra:
“Paman. kita berhenti dahulu,
aku lihat ada sumber air jernih.”Ki Tinggil mengangguk lesu:
“Benar, silahkan Raden mandi dahulu.” Sementara Aria Wiralodra mandi, Ki Tinggil telah tertidur di bawah pohon…. (di kemudian hari tempat ini bernama Pasir Ucing, dengan sumber airnya yang dikeramatkan orang). Seminggu lamanya mereka melepaskan lelah, kemudian melanjutkan perjalanan...
pada suatu hari sampailah mereka pada tempat yang terbuka. Di luar dugaan tanah tersebut memang dibuka orang. Di sana-sini terdapat pohon-pohon roboh bekas tebangan kapak. Maka bukan main girangnya Aria Wiralodra. Katanya kepada Ki Tinggil: “Paman kita akan ketemu orang. Lihat padi gogo,palawija, dan pohon tebu.Mari kita cari peladangnya!”‘Tunggu!” sahut Ki Tinggli sambil melompat ke arah sebatang pohon dan memanjatnya.“Ha! sambungnya kemudian, “lihatlah dia orangnya, lebih ke utara!” Sementara itu nampaknya kedatangan mereka telah diketahui si peladang, karena ketika Aria Wiralodra dan Ki Tinggil baru akan mencari jalan, peladang itu telah tiba di hadapannya,sambil berseru: “Kisanak, selamat datang di daerahku!” “Terima Kasih!” sahut Aria Wiralodra cepat sambil mengulurkan tangannya bergantian dengan Ki Tinggil.
Hendak ke manakah Kisanak sampai kesasar kemari? Mengapa cuma tinggal berdua? Ada malapetaka? Mana sisa rombongan yang lain?”Sang Peladang bertanya tidak sabar. “Kanda!”sahut Aria Wiralodra, “kami hanya berdua,namaku Wiralodra dan ini Paman Ki Tinggil,kami berasal dari Bagelen.”
“Tunggu!” sela Sang Peladang. “Dari Bagelen?Apa ada hubungan dengan Tumenggung Wirakusuma dari Banyuurip?”
“Itulah kakak kakekku,” sahut Aria Wiralodra tidak ragu-ragu. Sang peladang tampak
terkejut lalu merangkul sambil berkata terharu: “Adikku! Engkau saudara misanku.Namaku Wirasetro. Marilah ke pondokku.berceritalah di sana.”Di pondoknya, Raden Wirasetro menjamu
tamunya luar biasa. Nasi huma yang wangi,panggang ayam hutan dan sayur bunga tebu,
dihidangkan. Raden Wirasetro membuka pembicaraan dengan menguraikan perjalanannya bersama rombongan sampai ke daerah ini, yang bernama Pegaden (yang dikemudian hari Raden Wirasetro menurunkan dalem-dalem Pegaden), kemudian iaberkata:
“Nah sekarang berceritalah adikku! Mengapa engkau sampai di sini?”
Kini giliran Aria Wiralodra menguraikan suka-duka perjalanannya.
“Oleh karena itu,” kata Ki Tinggil, “Paman mengusulkan agar kita tinggal yang lama di sini, mau mengembalikan daging
paman yang pergi, yang rupanya tidak krasan diisi dedaunan saja.”
“Bagus!” sahut Raden Wirasetro, kebetulan di rombonganku ada seorang tukang masak,
besok akan kuhidangkan nasi gurih, acar ikan tambak, dendeng rusa dan sayur asin.”
Sementara Raden Wirasetro bicara, Ki Tinggil mulutnya komat-kamit dan tangannya
mengusap-usap perut. Maka hampir bersamaan ketiganya tertawa lebar.
Setelah sebulan lamanya, maka pada pagi hari,Aria Wiralodra dan Ki Tinggil minta diri sambil berjanji akan berkunjung kembali ke Pegaden pada suatu ketika, apabila maksudnya telah tercapai. Lalu merekapun berangkat.Dengan arah ke timur, kembali Aria Wiralodra dan Ki Tinggil memasuki hutan belantara dengan segala penghuninya. Akhirnya sampailah di tepi sungai yang lebar. Maka berkata Aria Wiralodra: “Paman kuduga inilah sungai Cimanuk!”
Ki Tinggil membenarkan, katanya: “Baik Raden,semoga kita dapat segera menjumpai orang.
Mari kita menyusuri tepi sungai ini ke utara,ke hilir.”
Namun alangkah kecewa mereka karena setelah berhari-hari perjalanan tidak seorangpun manusia yang dijumpai, bahkan setelah lebih dari satu bulan lamanya. Baru setelah Ki Tinggil mengeluh, sampailah mereka ke suatu tempat dimana ada tanda-tanda daerah itu dihuni manusia dan benar demikian.
Tidak sampai seratus depa ke depan, tampaklah kebun yang subur. Aneka tanaman palawija tumbuh bersama: ubi emas,jagung, timun, lobak dan cabe ditanam berbaris berselang seling.Setelah yakin tidak ada di kebun, lalu diikutinya jalan setapak yang menuju ke tepi sungai, dugaan mereka tidak salah, dekat pada tepi sungai ada wisma kecil yang indah dikelilingi bunga srengkuni; di kanan -kiri pintu wismanya ada bunga tongkeng ; agak ke muka lagi berjajaran bunga mandakaki. Dan alangkah terkejutnya Aria Wiralodra dan Ki Tinggil karena baru setelah dekat sekali tampaklah pemiliknya yang sedang duduk sambil menganyam bubu penangkap ikan ….
Orangnya telah tua, tetapi tubuhnva tampak tegap kuat dengan otot-otot yang menonjol. Sudah pasti kedatangan mereka telah diketahui, maka tak ayal lagi segera Aria Wiralodra bersalam: “Sampurasun Kakek,bolehkah kami datang berkunjung?”
Setelah sekian lama tidak ada sambutan,kembali Aria Wiralodra bersalam: “Kulonuwun Kakek, aku mohon sukalah bermurah hati,ingin kutanyakan wilayah ini dan nama sungainya.”Di luar dugaan si kakek yang tetap duduk menjawab dengan bengis: “Hai dua ekor babi,mau apa kau ini, baru datang sudah berani memeriksa. Apakah tidak tahu inilah aku Si Kaki Tani Malihwarni, pemilik kebun ini. Apa kau berdua mau coba merampokku?”
Kemasygulan Aria Wiralodra dimaklumi Ki Tinggil, maka cepat- cepat katanya, “Raden! Pamanpun baru menjumpai orang tidak mengenal sopan santun macam ini, tetapi hendaknya kita maklum karena dia manusia hutan.”
Sadar akan hal ini, Aria Wiralodra melangkah lebih dekat sambil berkata: “Wahai Kakek,tolonglah kami, jauh dari Bagelen Nagari.Tidak lain yang kami cari ialah Sungai Cimanuk. Bila benar ini Sungai Cimanuk,izinkanlah kami turut berkebun. Di mana saja kami diperbolehkan?”
Kembali Kaki Tani Malihwarni membentak:
‘Tidak sudi aku menolong, aku cukup punya rakyat, lekas mampuslah kau berdua , tak sudi
aku melihatmu!”
Aria Wiralodra tidak dapat menahan amarahnya, maka serunya:
“Hai tua bangka, orang macam apa engkau ini,tidak punya hati baik mengenai kebunmu ini sekarang aku rampas, cobalah engkau melawan!”
Dengan beraninya Kaki Tani Malihwarni berdiri bertolak pinggang, kemudian berteriak lebih nyaring sambil menunjuk, “Aku tidak takut anak kecil macam kau ini, semula kau tanya daerah ini, lalu tanya sungai akhimya kau akan merampas semuanya, benar-benar berandal!”
Segera Aria Wiralodra meloncat maju dan dengan gerakan yang cepat menyambar pergelangan tangan Malihwarni yang masih menunjuk.
Tetapi ternyata Si Tua cukup gesit.Mendapat serangan kilat yang demikian itu,tangannya dilempar ke samping kanan, diikuti putaran badannya, sedang kaki kirinya dari samping menendang ke leher Aria Wiralodra.Sementara mengagumi kelincahan lawannya,Aria Wiralodra segera merendahkan diri dan dengan meng-gunakan ujung-ujung jari tangannya menyerang pinggang lawan. Insyaf tendangannya gagal dan pinggangnya terbuka,Malihwarni lompat ke samping. Kaki kanannya ditekuk rendah ke muka, tangan kiri melindungi pinggangnya sedang tangan kanannya langsung memukul muka lawan,tetapi dengan mudah pukulan ini dapat ditangkis Aria Wiralodra dengan kibasan ke luar tangan kiri. Tidak sabar Malihwarni melanjutkan serangannya. Kaki kirinya menendang ke perut lawan dengan sepenuh tenaga. Aria Wiralodra tidak menghindar, kedua tangannya menyilang,mengacip pergelangan kaki Sang Malihwarni,
menangkapnya dan menyentakkannya ke atas,membuat seluruh tubuh Malihwarni melayang di udara, Aria Wiralodra menunggu jatuhnya Malihwarni ke tanah yang tidak kunjung tiba...
Wiralodra heran menjadi terkejut,karena Sang Malihwarni menghilang . Wismanya juga menghilang . Kebunnya juga menghilang,daerah itu menjadi hutan.Aria Wiralodra cepat menguasai diri dan segera menyadarkan Ki Tinggil yang terpana. Seperti dugaannya, kemudian sayup-sayup terdengar kembali orang bersenandung Pupuh Kinanti :
yang lirih membelai ….
Eh Wiralodra putuku Mbok ora weruh ing mami Buyut Sidum jeneng ingwang Pan dudu Cimanuk kali Lan pinasti kersaning Yang Besuk dadi desa kal-ci Pamanukan ingkang dusun Cipunegara kang kali Enggal sira anyabranga Mengko lamun sira manggih Kidang – mas inten kang soca Enggal burunen pan kaki Ing
pundi icale ivau Yaitu Cimanuii kali Benjang lamun kaki babad Poma kaki wekas mami Tetapaha qja nendra Pasti turun Ira mukti
Ingat akan pengalamannya di tepi Sungai Citarum, Aria Wiralodra memusatkan pendengarannya kata demi kata hingga dapat memaklumi maksudnya. Maka katanya pada Ki Tinggil: “Paman, dua kali kita telah ditolong Buyut Sidum. Pertama di tepi sungai Citarum dan kini di tepi sungai Cipunegara. Semoga kita segera dapat menjumpai kidang yang dimaksud.”
“Raden!” sahut Ki Tinggil sambil bangkit,“Marilah kita berangkat!”
Dalam perjalanan, Aria Wiralodra menebak-nebak siapa Buyut Sidum itu. Tetapi tidak dapat mengingatnya. Maka katanya dalam hati:
“Orang baik itu tidak ingin dikenali, maka biarlah demikian.”
Buyut Sidum atau Ki Sidum, nama aslinya adalah Ki Purwakali dan sebutannya Kidang Pananjung. Dia adalah salah seorang pengasuh Prabu Siliwangi. Dan seperti pengasuh yang lain adalah orang bijak yang mumpuni (sakti).Setelah mengundurkan diri dari Istana Pakuan(Pajajaran), dia kemudian mengembara ke bekas Kerajaan Tarumanagara (sungai Citarum).Di saat mudanya Ki Sidum punya saudara seper-guruan yang bemama Gagak Wirahandaka yang kemudian menjadi Tumenggung di Majapahit. Gagak Wirahandaka adalah kakek Aria Wiralodra.Setelah mengamati dan tahu bahwa Aria
Wiralodra cucu saudara seperguruannya, Ki Sidum menganggap sebagai cucunya juga,sesuai kaidah perguruan. Maka dengan caranya sendiri dia ingin memberi petunjuk kepada sang cucu menuju sungai Cimanuk.Lontar Babad Darma Ayu ( Abad XV M ) memberi penjelasan sebagai berikut:
Pamoali sakehing iku Buyut Sidum tiang karihin Kidang Pananjung kan asma Pajajaran
asli neki Tumenggung Sri Baduga Kang katah jasa hireki
Pada hari ketiga, Aria Wiralodra dan Ki Tinggil sampai di daerah yang terbuka, pohon-pohonan jarang dan rendah bergerumbul di sana sini. Mereka dapat memandang jauh-jauh sambil mengharap munculnya kidang yang berbulu emas dan bermata intan …. Tetapi berlawanan dengan harapannya , tiba-tiba saja muncul harimau belang yang sangat besar yang disebut macan Lodaya, dan tampak sangat garang. Ki Tinggil terkejut sambil berteriak: “Raden! Ke mana kita menghindar?”“Paman!” tukas Aria Wiralodra. “Akan aku tanya dahulu.”Ditatapnya sang raja hutan itu sebentar,kemudian katanya: “Hai Kiyai! Apa maksudmu menghalangi perjalanan kami ?”
Harimau itu menggeram, kedua kakinya menggaruk-garuk tanah dengan kukunya dan
tiba-tiba saja , dengan sebat lompat menerkam Aria Wiralodra. Aria Wiralodra telah siaga ,
sambil menggeser ke kiri, kaki kanannya menendang lambung si Loreng. Maka tak ayal lagi harimau itu mental dan jatuh di balik belukar.
Ki Tinggil yang sementara itu sudah bersenjata sebatang kayu, mengejarnya. Di luar dugaan Ki Tinggil menghadapi bahaya lain. Dalam jarak dua depa di balik belukar tadi baru terlihat
olehnya seekor ular besar dan langsung meluncur ke arahnya. Tetapi Ki Tinggil cukup gesit, batang kayunya diputar dan jatuh dengan derasnya di kepala ular yang segera terpelanting ke dalam sungai yang lebar. Ki Tinggil melompat mundur dan menancapkan kakinya ke samping Aria Wiralodra, katanya gugup: “Raden! Darimana datangnya sungai yang besar itu ?”
Aria Wiralodra tidak menjawab, berfikir sejenak, kemudian diambilnya Sang Cakra Udaksana dan dibuka sarungnya. Kemudian dengan ayunan keras Sang Cakra cepat meluncur menerjang permukaan air. Hasilnya telah dapat diduga, sungai itu lenyap dan kembali menjadi belukar. Aria Wiralodra bergegas memungut senjatanya.Belum sempat Aria Wiralodra berpikir , tiba-tiba muncul seorang wanita muda yang cantik luar biasa. Dan dengan tidak ragu-ragu berlenggang mendekati Aria Wiralodra, sambil bersenandung Pupuh Sinom:
Pan kola maksih hakenya
Dereng anglapahi laki
Larawana wasta kula
Mangga jandika turuti
Sakarsa sampean niki
Kula sanggup bade tulung
Kasugian kadigjayan
Arsa kula dipun kawin
Mangga raden tampinen nyeti kaula
Setelah dekat dan berhadapan, si mojang berkata lembut: “Aduhai Sang Perkasa,kujumpai tuan di sini, di rimba, mau mencari apa? Namaku telah kukatakan tadi , Larawana,masih gadis, belum pernah bersuami .Terimalah lamaranku, jadilah suamiku, nanti akan kupenuhi semua yang tuan inginkan.”
Ki Tinggil cepat bertindak disentuhnya Aria Wiralodra sambil berkata, “Raden, ingatlah di mana kita kini sedang berada.”
“Aku sadar Paman,” sahut Aria Wiralodra dan sambil menghadap Larawana dia menyahut:
“Nyai! Engkau gadis ayu, sangat cantik ,membuat jantungku berdebar sampai ke hati. Hanya saja tidaklah pantas, bagi wanita secantik engkau dan masih gadis pula, tinggal di dalam hutan seorang diri. Mengenai lamaranmu, aku menyesal menolaknya, karena masih panjang perjalananku. Perkara kawin bagiku, kelak kalau sudah mulia.”
“Ah!” jawab Larawana kecewa. “Apa yang tuan katakan, kalau sudah mulia, pada saat itu sudah tidak rupawan lagi, sudah tidak perkasa lagi, sudah jadi kakek-kakek.” Kemudian suara Larawana meninggi,Sambungnya: “Kalau sudah demikian aku tidak mau, aku mau sekarang saja.”
“Menyesal, cah. ayu,” sahut Aria Wiralodra.“Jawab-anku sudah kuucapkan.”
Larawana marah, mukanya bersemu dadu,katanya geram: “Baru kujumpai, laki-laki sesombong engkau, akan kutangkap engkau berdua, hai Wiralodra!” Kata-kata Larawana diikuti tindakannya. Tangan kanannya meraih ke tenggorokan, tangan kirinya meluncur ke ulu ati, sedangkan kakinya menyiku, membuat kuda-kuda.
ia Wiralodra telah siaga, serangan ini ditangkis dengan kibasan tangan kiri ke luar,sedang tangan kanannya menangkap pergelangan tangan kiri Nyi Larawana. Tidak terduga tangan Larawana licin seperti belut.Maka dengan sentakan kuat Larawana melepaskan diri dengan melompat mundur.Begitu kakinya menjejak tanah lalu maju lagi dengan cepat dan tangan kanannya berkelebat ke arah kepala lawan.
Aria Wiralodra menghindar dengan menundukan kepala sambil mementang kedua tangannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Larawana. Kelima jarinya yang berkuku tajam meluncur ke arah perut. Aria Wiralodra cepat miring sambil maju merapat, dan bagaikan kilat Aria Wiralodra menangkap pinggang Larawana dari samping . Bukan main terkejutnya Larawana, segera kedua kakinya diangkat dan berbareng menendang dada lawannya sekuat tenaga.Akibatnya adalah pertunjukan yang indah.Sementara Aria Wiralodra teguh pada kuda-kudanya, Larawana melesat belasan depa ke belakang, setelah berputar sekali di udara,Larawana menginjakkan kakinya dengan ringan di tanah bagaikan bidadari turun dari kayangan. Di tangan kirinya tergenggam sebuah busur dan di tangan kanannya anak panah yang berantai emas, lalu berseru lantang:
“Hai Wiralodra, lihatlah senjata ranteku ini,akan kuikat engkau kini!”
Sementara ia bicara, busurnya telah dipentang kemudian melesatlah sang anak panah.Laksana besi beradu dengan baja, letupan bunga api memercik, anak panah itu patah terpental dari dada Aria Wiralodra.
“Ah Raden. Aria bagus yang Gunasakti,” kata Larawana lembut. “Aku telah bertekad mati bila tidakjadi sejoli, maka walau aku tidak dapat menangkapmu, belum tentu engkau dapat mengalahkanku. Oleh karena itu cobalah membalas dengan senjata pula. Aria Wiralodra mengambil Cakra Udaksana.Sementara Ki Tinggil menghampirinya seraya berkata: “Raden, jangan ragu-ragu, yang telak,jangan sampai meleset, perjalanan kita masih belum ada ketentuan.”Setelah mengangguk , Aria Wiralodra mementang cakra, kemudian melesat menerjang Larawana , kena ketebas lalu lenyap….
Beberapa saat lamanya keadaan jadi sunyi. Aria Wiralodra belum mengetahui bahwa Larawana hilang. Pada saat-saat terakhir tadi dia memejamkan matanya, karena betapapun dia maklum akan diri Larawana, tetapi wujudnya adalah wanita, dia tidak sampai hati untuk menyaksikan kehancurannya.
Maka betapa dia terkejut ketika membuka matanya, bukan karena hilangnya Larawana yang telah dia pastikan, tetapi munculnya di tempat tersebut seekor kijang berbulu kuning keemasan dengan sinar matanya berkilauan bagaikan intan.“Paman, itulah Kidang Kencana!” serunya gembira pada Ki Tinggil. Lalu cepat-cepat dia mengambil cakranya. Kemudian ditolehnya Ki Tinggil yang tampak sedang menepuk-nepuk perutnya kegirangan, sambil berteriak: “Tak salah lagi, memang itulah dia!”
Merekapun bergegas membuntuti sang kidang yang lari ke arah timur.Perburuan ini memakan waktu berminggu-minggu. Walau demikian kelelahan tidak terasa karena sang kidang mengerti benar bila pemburunya memerlukan istirahat . Pada saat-saat itu sang kidang merebahkan diri menunggu pada jarak yang cukup dekat ….
Pada suatu hari yang cerah, tiba-tiba Kidang Kencana menghilang dan tidak sampai setengah hari perjalanan tampaklah sebuah sungai yang besar. Airnya deras mengalir dari selatan ke utara. Tidak diragukan lagi itulah Sungai Cimanuk. Setelah puas memandangi sungai. Aria Wiralodra dan Ki Tinggil merebahkan diri di bawah pohon Kiara. Angin lembut membuat rasa mengantuk dan dalam keadaan setengah sadar kembali terdengar senandung yang tidak asing lagi, suara Ki Buyut Sidum, hanya berganti Pupuh Sinom:
"eh, putulcu wiralodra iki bogus apan kali cimanuk kang den pilala, wis bagjamu kaki benjing ing turun-turun sireki,
karsane yang maha agung, mapan oleh kamuktian, wis katrima ing yang widi, age nglilir ki tinggil lan wiralodra."
Secara serentak Aria Wiralodra dan Ki Tinggil tersadar, lalu bersama-sama sujud syukur memanjatkan puji pada Tuhan Yang Maha Esa.
“Paman!” berkata Wiralodra kepada Ki Tinggil, “Disinilah rupanya tanah yang dijanjikan itu, alangkah bahagianya aku.”
“Raden!” sahut Ki Tinggil “Pertolongan Ki Sidum luar biasa, paman pernah mendengar dari eyangmu Gusti Sepuh Wirahandaka perihal saudara seperguruannya yang mengabdi ke Kerajaan Pajajaran, sedangkan beliau ke Majapahit. Paman menduga dialah orangnya. Maka itu Paman nanti akan menanyakannya. Paman hafal ciri-ciri Ki Sidum. Sekarang Raden, marilah kita cari tempat untuk kita menetap.”
Setelah melihat kesana-kemari, akhirnya terpilih tanah yang datar dan luas di sebelah barat sungai cimanuk (sekarang desa Sindang).
Tidak ada komentar
No Spam / Ads or Outside Links